Senin, 15 Desember 2014

Makalah PERKEMBANGAN ZAMAN MODERN (Pemikiran Filsafat Sejarah Menurut A.J. Toynbee)





logo unej
 





PERKEMBANGAN ZAMAN MODERN
(Pemikiran Filsafat Sejarah Menurut A.J. Toynbee)

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sejarah
Kelas A
Oleh:

Abdul Hannan (130210302072)


Dosen Pembimbing I : Drs. Kayan Swastika M.Pd

                                                                                       
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014


KATA PENGANTAR

            Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penyaji dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul "Perkembngan Zaman Modern (Pemikiran Filsafat Sejarah Menurut A.J. Toynbee)”.
            Dalam pembuatan makalah ini, penyaji mendapat bantuan dari berbagai pihak dan refrensi beberapa buku, maka pada kesempatan ini penyaji mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :Drs. Kayan Swastika M.Pd. yang telah memberikan kesempatan sehingga makalah ini dapat selesai dengan lancar. Untuk kedua orang dirumah senantiasa memberikan do’anya, sehingga pembuatan makalah ini dapat terselesaikan. Seluruh teman-teman kelas A yang turut berpartisipasi.
            Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penyaji pada khususnya. Tiada Gading yang Tak Retak, untuk itu penyaji berharap saran dan kritik agar penyaji bisa lebih baik di kemudian hari. Akhir kata penyaji sampaikan terimakasih.

                                                                                      
Jember, 13 November 2014

Penyaji








DAFTAR ISI

Halaman
HAL COVER................................................................................................. i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1  Latar belakang ................................................................................... 1
1.2  Rumusan masalah .............................................................................. 3
1.3  Tujuan ............................................................................................... 3
BAB 2. PEMBAHASAN............................................................................... 4
2.1 Riwayat hidup A.J. Toynbee ..................................................................... 4
2.2 Konsep Peradaban Toynbee ............................................................... 5
2.2.1 Teori Sejarah dan Pandangan Filsafat Sejarah Menurut Arnold J. Toynbee (1889- )  6
2.2.2 Pemikiran yang mempengaruhi .................................................. 14
2.3 Teori Kebudayaan .............................................................................. 17
BAB 3. PENUTUP......................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 18
3.2 Saran.................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 20





BAB 1. PANDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Seorang sejarawan Inggris Toynbee yang bernama lengkap Arnold Joseph Toynbee lahir di London, Inggris pada 14 April 1889. Ia merupakan tokoh sejarawan yang menghasilkan karya berjudul A Study of History. Karyanya tersebut, yang terdiri dari 12 Jilid, telah menempatkan studi filsafat sejarah lebih maju berdasarkan atas analisa cyclical development (1. The prophets of the west hlm 181) dan runtuhnya sebuah peradapan dan memprovokasi banyak sekali diskusi dalam tahun-tahun sesudahnya.
Toynbee seringkali dikira sebagai pamannya Arnold Toynbee yang adalah seorang ahli ekonomi pada abad 19. Ia mengenyam pendidikan di Balliol College, Oxford dan melanjutkan studinya yang singkat di British School, Atena. Dan pada 1922 ia memulai pengerjakan karyanya, yakni A Study of History, yang merupakan hasil dari inspirasinya mengamati petani-petani Bulgaria mengenakan topi dari kulit rubah layaknya pelindung kepala pasukan Xerxes seperti dideskripsikan oleh Herodotus. Kejadian ini membuka karakteristik-karateristik yang memberikan sebuah kualitas lain pada karyanya- pemahamannya akan luasnya keberlangsungan sejarah dan kejeliannya akan pola sejarah, luasnya pengetahuannya, serta kemampuannya mengobservasi secara tajam.
          Dalam bukunya tersebut Toynbee menelaah sebanyak 26 peradaban serta alasan mengapa mereka terbentuk dan runtuh sepanjang sejarah manusia. Sebuah kesimpulanpun ia dapatkan, yakni bahwa bangkitnya sebuah peradaban merupakan sebuah keberhasilan dari peradaban itu dalam merespon tantangan-tantangan yang mereka hadapi dibawah kepemimpinan segelintir kecil orang-orang kreatif yang pada akhirnya membentuk sebuah kelompok elit. Dan runtuhnya sebuah peradaban adalah saat dimana sekelompok pemimpin tersebut berhenti memberikan respon-respon kreatif, lalu peradaban tersebut tenggelam karena dosa-dosa dari nasionalisme, militerisme, dan sebuah rezim tirani. Tidak seperti Sprengler dalam bukunya The Decline of TheWest, Toynbee tidak melihat runtuhnya sebuah peradaban sebagai sesuatu yang tak terhindarkan (2. Prophets of the west hlm 185), karena sebuah peradaban dapat berhasil atau tidak dalam menghadapi tantangannya sendiri. Lain pula halnya dengan Karl Marx yang melihat sejarah dari sudut pandang daya ekonomi, Toynbee melihat sejarah sebagai sesuatu yang terbentuk secara spiritual.
            Karena pemikiran-pemikiran dan karya-karyanya, Toynbee telah menerima banyak kritik-kritik tajam dari para sejarawan lain. Secara garis besar, kritik-kritik tersebut menitik beratkan pada fakta penggunaan Toynbee akan mitologi-mitologi dan metafor-metafor yang lalu ia bandingkan dengan data-data faktual, serta atas argumen-argumennya secara general tentang bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban yang terdengar seperti terlalu banyak bersandar pada cara pandang agama sebagai sebuah daya regeneratif. Banyak dari kritik yang dilontarkan tersebut adalah lantaran kesimpulan-kesimpulan yang diambil Toynbee dirasa sebagai kesimpulan yang dibuat dari seorang moralis Kristiani ketimbang dari seorang sejarawan. Bagaimanapun juga, karya-karyanya dipuji sebagai sebuah jawaban yang menstimulasi atas tendensi penelitian sejarah modern yang cenderung fokus pada satu hal saja.
Atas dasar itulah penulis merasa bahwa pemikiran-pemikiran Toynbee perlu dibahas lebih jauh serta ditanggapi. Pada bagian selanjutnya penulis akan pertama-tama menguraikan pemikiran Toynbee secara singkat tentang terpuruknya sebuah peradaban, disintegrasi peradaban, serta kemajuan peradaban dan agama. Setelahnya penulis akan mencoba memberikan tanggapan kritis atas pemikiran-pemikiran tersebut.






1.2.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana riwayat hidup Arnold J. Toynbee?
2.    Bagaimana hasil pemikiran Arnold J. Toynbee?
3.    Bagaimana respon terhadap karya Arnold J. Toynbee?

1.3    Tujuan
1.    Mengetahui riwayat hidup Arnold J. Toynbee.
2.    Mengetahui hasil pemikiran Arnold J. Toynbee.
3.    Mengetahui respon terhadap karya Arnold J. Toynbee.


















BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Riwayat Hidup A.J. Toynbee
            Seorang Ahli sejarah Inggris yang lahir di London, Inggris pada 14 April 1889. Ia merupakan tokoh sejarawan besar yang menulis buku monumental yang mengulas tentang peradaban manusia yang berjudul “A Study of History”. Ia mengenyam pendidikan di Balliol College, Oxford dan melanjutkan studinya yang singkat di British School, Atena.
             Toynbee adalah anak dari Henry Valpy Toynbee, seorang pengimpor teh yang beralih menjadi pekerja sosial, dan Sarah Edith Marshall, sarjana unofficial di bidang sejarah dari Universitas Cambridge. Dan merupakan kemenakan dari seorang sejarawan terkenal Arnold Toynbee, di mana namanya dengan sang paman sering salah digunakan karena kemiripan nama.
                        Dia menamatkan studinya di Winchester College dan Baliol College di Oxford Inggris kemudian pada British Archaeological School di Athena Yunani. Ia memulai karir sebagai pengajar di Balliol pada tahun 1912, dan kemudian menjadi pengajar di King’s College, London kemudian sebagai Profesor sejarah Modern Yunani dan Binzantium, menjadi guru besar sejarah internasional di Universitas London pada 1925-1946, serta pada London School Economics dan di Royal Institute of International Affairs (RIIA) di Chatam House. Kemudian ia menjadi pemimpin dari RIIA pada tahun 1925-1955 (Ekayati, 1996). Dia bekerja pada departemen Ilmu Pengetahuan di Departemen Luar Negeri Inggris dan pada saat perang dunia pertama berlangsung dan kemudian menjadi delegasi pada Paris Peace Conference pada tahun 1919 dan pada 1946 menjadi delegasi untuk acara yang sama. Bersama dengan asisten penelitinya, Veronica M. Boulter, yang kemudian nantinya menjadi istri keduanya, dia menjadi co-editor Survey of International Affairs yang diadakan RIIA. Pada saat perang dunia kedua, dia kembali bekerja di departemen luar negeri dan menjadi pembicara pada seminar tentang perdamaian.
Kehidupan pribadinya, ia menikah dengan rosalind Murray, purti dari Gilbert Murray dan dikaruniai tiga orang putera. Namun mereka bercerai, dan kemudian Toynbee menikah dengan Veronica M. Boulter pada tahun 1946. Toynbee meninggal pada 22 Oktober 1975.
Di samping teori ia juga berpendapat tentang sejarah sebagai berikut: Ada dua kelompok masyarakat yang penting bagi studi sejarah. Pertama adalah kelompok masyarakat primitif yang penyelidikannya dilakukan oleh ahli antropologi dan ahli arkeologi. Yang kedua, adalah masyarakat historis yang timbul sekitar lima atau enam ribu tahun yang lalu dan yang merupakan objek material para ahli sejarah. (Endang D. Asdi, 1980; S. Hardjosatoto, 1985: 22-23).
            Studi sejarah berarti studi yang menyeluruh, yaitu studi tentang kehidupan manusia seutuhnya, bukan studi tentang sesuatu negara atau sesuatu bangsa saja. Studi sejarah merupakan suatu studi peradaban masyarakat sebagai satu kesatuan, sebagai satu unit sejarah. Pembagian sejarah menjadi sejarah kuno, Abad pertengahan dan modern sesungguhnya memperkosa peradaban tertentu untuk digolongan ke dalam peradaban yang lain.
            Berdasarkan pada asumsi bahwa sejarah merupakan studi tentang peradaban, maka Toynbee mengatakan bahwa ada kesinambungan dalam sejarah. Kesinambungan ini dapat diibaratkan seperti hubungan orang tua dan anak. Meskipun begitu bukan kesinambungan kehidupan individu, melainkan suatu keberlangsungan dari generasi ke generasi secara berurutan. Peradapan mempunyai siklus atau pola tertentu yakni lahir, tumbuh dan hancur. Fase-fase ini secara pasti dialami oleh setiap peradaban. (Tamburaka, halaman 13).

2.2 Konsep Peradaban Toynbee
            Toynbee membagi sejarah dunia dalam 26 peradaban. Dari jumlah peradaban itu 16 telah musnah, tiga lebur, sementara itu 7 lainnya masih bertahan. Ketujuh peradaban itu kemudian dikombinasikan menjadi lima, yaitu (1) Peradaban Barat, (2) Kristen Ortodoks, termasuk Eropa Tenggara, (3) Islam, (4) Hindu, dan (5) Timur Jauh, termasuk di dalamnya Cina, Jepang, dan Korea (Ekayati, 1996). Pembagian sejarah ini yang mendasari dilakukannya kajian tentang peradaban dalam bukunya, A Study of History. Peradaban-peradaban yang menjadi kajian dari Toynbee adalah Mesir, Andean, Sinic, Minoan, Sumeria, Maya, Indic, Hittite, Hellenik, Peradaban Barat, Kristen Kaum ortodox di Rusia dan Eropa, Cina dan timur jauh (Korea/Jepang), Iran, Arab, Hindu, Mexic, Yucatek, dan Babylonia. Selanjutnya itu ada empat ‘abortif civilisations’ (Kristen Barat Jauh, Kristen timur Jauh, Sytiac, dan Scandinavia) dan lima peradaban yang bertahan (arrested civilization) yaitu Polinesia, Eskimo, Nomadic, ottoman, dan Spartan. Dari sekian peradaban yang ditelitinya total ada tiga puluh peradaban. 
           

2.2.1 Teori Sejarah dan Pandangan Filsafat Sejarah Menurut Arnold J. Toynbee (1889- )
            Seorang sarjana Inggris yang menggemparkan dunia sejarah ialah Arnold J. Toynbee dengan karangannya :A Study of History terdiri 12 (dua belas) jilid yang tebal-tebal (jilid pertama diterbitkan pada tahun 1933). Teori Toynbee didasarkan atas penyelidikan 21 kebudayaan yang sempurna dan 9 kebudayaan yang kurang sempurna. Kebudayaan sempurna umpamanya : Junani-Roma, Maya (Amerika Tengah), Hindu, Barat (Eropa), Eropa Timur dan sebagainya.Yang tidak sempurna antara lain : Eskimo, Sparta, Polynesia, Turki. Kesimpulan A.J. Toynbee ialah bahwa dalam gerak sejarah tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan dengan pasti.
Yang disebut kebudayaan (civilization) oleh Toynbee ialah wujud dari pada kehidupan suatu golongan seluruhnya yaitu seperti yang disebut oleh O. Spengler sebagai kultur dan civilization.
Menurut Toynbee gerak-sejarah melalui tingkatan-tingkatan seperti berikut:
1.        Genesis of civilization-lahirnya kebudayaan.
2.        Growth of civilization-perkembangan kebudayaan.
3.        Decline of civilization-keruntuhan kebudayaan.

Keruntuhan kebudayaan berlangsung dalam tiga fase (gelombang), yaitu:
a)    Breakdown of civilizations-kemerosotan kebudayaan.
b)   Desintegration of civilization-perkembangan kbudayaan.
c)    Dissolution of civilization-hilang dan lenyapnya kebudayaan.

Suatu kebudayaan terjadi, dilahirkan karena tantangan dan jawaban (challenge-and-response) antara manusia dengan alam sekitarnya. Dalam alam yang baik menusia berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan seperti Eropa, India, Tiongkok. Di daerah yang terlalu dingin seolah-olah kegiatan manusia membeku (Eskimo); daerah yang terlalu panas tak dapat timbul pula suatu kebudayaan (Sahara, Kelahari, Gobi). Maka apabila tantangan alam itu baik timbullah suatu kebudaan.
Pertumbuhan dan perkembangan suatu kejadian digerakkan oleh sebagian kecil dari pihak-pihak kebudayaan itu. Jumlah kecil (minor-ity) itu menciptakan kebudayaan; dan massa (mayority) meniru. Tanpa minority yang kuat dan dapat mencipta suatu kebudayaan tidak dapat berkembang.
Apabila minority menjadi lemah dan kehilangan daya menciptanya, maka tantangan-tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Minority menyerah, mundur dan pertumbuhan tidak terdapat lagi. Apabila keadaaan sudah memuncak seperti itu, maka keruntuhan (decline) mulai tampak. Keruntuhan itu terjadi dalam tiga masa atau gelombang yaitu:
a.         Kemerosotan kebudayaan. Oleh sebab minoritas kehilangan daya menciptaya serta kehilangan kewibawaannya maka minority tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan di dalam kebudayaan (antara minoritas dan mayoritas) pecah dan tentulah tunas-tunas hidupnya kebudayaan akan lenyap.
b.        Kehancuran kebudayaan mulai tampak setelah tuas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti maka seolah-olah daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan yang tidak berjiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification, pembuatan atau kebudayaan yang suda menjadi batu, mati dan menjadi fosil.
c.         Lenyapnya kebudayaan ialah apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur-lebur, lenyap.

Tiga masa ini yaitu breakdown-disintegration-dissolution tidak berlangsung berturut-turut dengan cepat.
Antara breokdown dengan dissolution sering terbentang masa 2000 tahun; masa peralihan itu ialah masa pembuatan atau petrification itu. Kebudayaan Tiongkok-kuno umpamanya berada dalam masa petrification itu “menunggu” masa dissolution.
Pada masa breakdown sebelum masa disintegration timbul, sering terdapat suatu usaha untuk menghentikan kehancuran. Usaha itu dipimpin oleh jiwa-jiwa besar yang bertindak seolah-olah sebagai Al-Masih itu tidak berhasil sama sekali.
Suatu usaha untuk menghentikan keruntuhan suatu kebudayaan yang mungkin berhasil ialah penggantian dari segala norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Maka dengan penggantian itu tampaklah bahwa tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan atau dengan lebih konkret: Kerajaan Allah menurut paham Protestan Inggris; mengetahui kehendak Allah dan wujud dari pada kehendak itu dalam sejarah agar dapat lebih-lebih mencintai Tuhan.
Dengan demikian jelaslah bahwa garis besar dari pada teori Toynbee mirip dengan tafsiran Santo Augustinus. Akhir dari pada gerak sejarah pun sama jua: Civitas Die. Maka apabila Toynbee dapat disebut sebagai muara teori Augustinus, teori Spengler adalah bentuk hukum-fatum-cyclus atau sejenis cakra-manggiling dalam ujud-bentuk modern, maka teori-Mark merupakan muara hukum-fatum, dengan penambahan unsur-unsur evolusi.
Penjelasan tentang teori dan filsafat menurut Arnold Joseph Toynbee (1889- ) dikutip dari karya-karyanya berjudul:
1)        A study of History. Oxford, 1934 vols, 1-3, 1939, vols, 4-6 1953, vols. 7-10.
2)        The world and the west, oxford 1953.
3)        An historian’s approach to religion, Oxford University Press, dalam A, Marks dan R.E. Tamburaka, 1965: 30-33).

Kita sekalian mengetahui betapa besarnya pengaruh geografis atas perbuatan manusia, sehingga ada tersebutkan bahwa: Manusia adalah hasil sekitarnya. Tujuan segala pekerjaan kultural ialah menjadi tuan atas keadaan geografis serta dengan segala benda materiil yang berada di dalamnya. Keadaan geografis saja tidak menyebabkan kejadian-kejadian bersejarah, bahwa hanya keadaan geografis saja tidak menyebabkan/mengakibatkan suatu perbedaan; tidak bisa diberi sebab, mengapa keadaan Maya sudah berkembang justru di dalam pegunungan Amerika Tengah, dan mengapa itu tidak berkembang di dalam tanah rata atau pada pesisir pantai. Toynbee sudah membuktikan, bahwa keadaan geografis, betapa besar pun juga pengaruhnya, tidak ada “causal potence in human affairs”. Pengaruh tempat kediaman tidak begitu besar, sehingga itu dapat membetulkan kekhusususan suatu kebudayaan. Ditolaknya juga anggapan yang umum, bahwa suatu kebudayaan tumbuh dan berkembang hanya dalam keadaan geografis dan syarat-syarat hidup yang paling baik luar biasa cocok. Toynbee sudah menyelidiki kebudayaan Maya, peradaban India di Ceylon, keadaan Polynesia hingga puncaknya dari New England lalu menarik kesimpulan dari semua penyelidikan itu, bahwa manusia menciptakan kebudayaan sekaligus sebagai pendukung kebudayaan yang diciptakannya dengan syarat-syarat tertentu.
Maksud segala penyelidikannya ialah mengutarakan bagaimanakah kebudayaan masing-masing timbul, berkembang dan akhirnya mundur lagi dan untuk mengerti, adakah sesuatu yang pasti (law, hukum, peraturan) yang menyebabkan baik tumbuh dan perkembangan maupun juga kemunduran setiap kebudayaan.
Adapun akibat-akibat dari penyelidikannya Toynbee mendapatkan tesis sebagai berikut: Tiada hukum yang pasti dan lingkaran-lingkaran tertentu, melalui mana manusia haruslah satu persatu (there are no laws of historical cycles after another). Studi of History, vol, IX, pp, 338 ff: Are laws of nature current in history inexorably or controllable?. Toynbee berusaha menjawab pertanyaan tentang maksud dan tujuan sejarah (de zin der Geschiedenis, atau filsafat tentang sejarah) itu bukan seperti seorang filsuf yang benar, melainkan seperti seorang historian yang terpelajar dalam studi empiris dan yang berdasrkan atas keyakinan religius sejati (citati by David. Richardson in the philosophy of history and the stability of civilization” vol. XX 1957: 159).
Toynbee tidak membedakan antara civilization dan yang disebut culture sebagai istilah-istilah yang saling berlainan, kedua-suanya diambil seperti sinonim. “The words civilization and culture, do not only indicate a speciale quality of a society or commonwealth, but also signify the general society or commonwealth it self.” (A study of history, Vol. III, 1934: 221).
Demikian civilization yang tumbuh dapat dibatasi seperti sesuatu, dalam komponen-komponen kebudayaannya-elemen ekonomi, elemen politik dan yang ketiga yang dapat disebut elemen culture per excelence ada dikembangkan dengan ilmu lainnya, seperti sesuatu dalam elemen-elemen yang tersebut itu melawan satu dengan yang lain (A growning civilization can be defined as one in which the components of its culture-an economic element, a political element, and third which may be called the cultural element par excellent-are in harmony with one another; and on the same principle, a disintegrating civilization can be defined as one in which the same element have in to discord. A study of history, vol, IX, 1953:7 dalam A. Marks & R.E. Tamburaka, 1965: 30).
Berhubung dengan teori, yang mana pun juga tentang penjelasan maksud sejarah adalah suatu pertanyaan yang paling praktis dan penting, yaitu: Bagaimanakah kita dapat melindungi kita, supaya itu juga melalui jalan yang sama kebudayaan-kebudayaan yang sudah berlalu?
Kita tidak menyangkal, bahwa kebudayaan kita sudah ada banyak kebudayaan yang lain dan yang mungkin lebih tinggi dalam tingkatannya dan lebih dalam perkembangannya.
1.    Mac Iver and Page, Society, An Intoductory analysis, New York, 1957: 104.
2.    Summary of Toynbee’s Study, Presented by D.C. Somervell: A Study of history abridgement of volumes 1-6. New York, 1947.
Apa sebab kebudayaan-kebudayaan yang maju akhirnya menjadi mundur?
Kalau telah mundur, mengapa kebudayaan yang kita punyai tidak bisa mundur? Dengan kata lain: Berkembanglah sejarah manusia melalui jalan cycles? (lingkaran peredaran) atau tidak? Toynbee telah menyelidiki dengan teliti susunan kebudayaan yang lebih tinggi pada umumnya dan pada khususnya gerakan, naik dan turun dari pelbagai kebudayaan.
Dalam gubahannya “A Study of history” disebutnya 21 kebudayaan (civilization) yang berlainan dalam perjalanan sejarah dan dari semua itu hanya lima yang hidup terus sampai sekarang.
Dalam penyelidikannya telah ditemukan kegiatan tertentu dalam masing-masing kebudayaan dan yang menyebabkan kemunduran kebudayaan-kebudayaan tersebut.
Toynbee berkata: Setelah kita mempelajari sejarah kebudayaan yang dulu dengan teliti maka ternyatalah, bahwa salah satu kebudayaan yang baru setelah beberapa tahun dari waktu asalnya mengalami suatu periode uang penuh dengan kekacauan (time of troubles).
Sifat-sifat pada waktu itu khususnya peperangan; kwmudian setelah 400 tahun yang lain kebudayaan yang tersebut itu akan tunduk kepada “universal state”.
            Akhirnya setelah 400 tahun yang lain kebudayaan itu hilang eksistensina dan kadang-kadang sama sekali tak ada lagi.
           
            Proses kemunduran (dari permulaan time of troubles) disifatkan dengan peristiwa bersejarah yang berturut-turut dengan jarak-jarak pasti; kecelakaan yang terbesar dari semua itu adalah pembinasaan yang bukan main hebatnya karena suatu perang. Lihat skema di bawah ini:

              400                      400                       400
A ----------------- B --------------   C --------------------------- 000000000000
Umpamanya dari sejarah kebudayaan Gerika-Rumawi:
B  yaitu time of trouble dimulai dengan perang Peloponnesus 431-404 pertentangan di antara Athena dan Korinth (Sparta).
C  yaitu time of troubles diganti oleh universal state dengan peperangan saudara di Roma di abad pertama sebelum Masehi (Pompeius, Caesar, Grassus, Sulla).

Peristiwa atau catastrophic event dinamakan “routs or relapses” (hal runtuh lagi) dan mereka diganti oleh gerakan renaissance yag dinamakan “rallies” (menghidupkan kembali). Mereka saling berturut-turut menurut suatu skema yang tertentu yaitu 3,5 yaitu relapse yang terakhir dari periode universal state tidak lagi diganti oleh suatu rally. Setiap kebudayaan yang sudah mundur telah mengalami 2 periode utama yaitu pertumbuhan sosial dan kemunduran sosial.......
Umpamanya:     Rout yang pertama dari sejarah Gerika Rumawi terjadilah dengan Perang Peloponesus (431) yang juga adalah permulaan time of troubles.
                          Rally yang pertama adalah percobaan memperbarui dan menguatkan kesatuan politik 50 tahun sebelum perang melawan Hannibal.
                          Rout yang kedua terjadi dengan tahun 218 yaitu perang di antara kota Roma dan bagian-bagian lain dari Imperium Rumawi (218-31 S.M.).
                          Rally yang kedua mulai denga pemerintahan kaisar Augustus dan juga ada permulaan “universal state” 31 S.M. Periode itu 431-31 justru 400 tahun lamanya. Relapse yang ketiga terjadi dengan kejadian setelah kematian kaisar Marcus Aurelius pada tahun 180 set. M.
                          Rally yang terakhir mulai dengan pemerintahan Diocletianus pada tahun 284 relapse yang terakhir dan keruntuhan kebudayaan terjadi pada tahun 378 set. M.
                         
Demikian juga berlalu 400 tahun dari 31 seb. 378 set. M. 3,5 pukulan baik rout maupun ralies meliputi kemunduran kebudayaan Gerika-Rumawi sepanjang 800 tahun lamanya yaitu dari 431 seb. M. Sampai 379 set. M. Waktu dari 800 tahun lamanya sudah dibagikan dalam time of history, vol. VI, 1953: 287-291, The rhythm in Hellenic history.
No man caused the interval of the universal state to be about 400 years (221 B.C. – A.D. 172) No human being caused the rhythm of decline to be 3.5 beats.
1.    Relapse tahun  634-551 = 1 rout
551-403 = 1 rally
2.    Relapse              403-221 = 1 rout ca 400 tahun lamanya
                                      221 = universale state
3.    Relapse                221-9  = 1 rout
                                 9-172  = 1 rally ca 400 tahun lamanya
Final relapse                  172 = 1 rout
                                                Therefore 3 beats

            The “breakdown” keruntuhan suatu kebudayaan tidak bersifat suatu breakdown dalam arti yang sebenarnya, melainkan dalam arti dialektis. Artinya, bahwa setiap proses kebudayaan yang baru muncul dari barang bekas dan sisa-sisa bentuk masyarakat yang lebih dahulu (A.J. Toynbee, vol, X, 1953:291-292). Kita sudah mengenal dan mengalami bahwa sejarah umat manusia bergerak terus, tetapi apakah yang menyebabkan gerakan sejarah itu?
Menurut Toynbee adalah “goods” berupa-rupa, baik sosial dan ekonomis, maupun partikulir dan nasional yang diciptakan dan dirindukan oleh manusia. Dan lagi pula cita-cita dan tujuan yang tersebut dan yang bersifat the dynamism of history terdapat hampir pada semua bangsa dan dalam kebudayaan dan sejarahnya.
Kemauan manusia itu sama sekali tidak bisa dipandang sebagai suatu dorongan partikulir saja, suatu daya yang berasal dari cita-cita satu orang saja dan yang melanggar segala keadaan teratur, melainkan suatu bentuk masyarakat yang pasti dan teguh yang mengumpulkan dan mengerahkan segala tenaga dan daya yang berada di dalamnya kesuatu keseimbangan yang umum. Keadaan teratur itu dikuatkan dan meneguhkan dengan suatu kepercayaan religius dan kurang lebih kehidupan menurut tuntutan-tuntutan etis (dalam arti yang amat luas).
Bilamana tampak keruntuhan keadaan itu, maka juga berikutlah suatu kemunduran kebudayaan sendiri. “The breakdown of Hindu civilization about A.D. 1175 was made possible by the discord and military conflicts into which the member state fell”. (Toynbee, vol X, 1953: 231-237). Dengan kata lain, suatu kebudayaan berhenti dalam perkembangannya dan mulai mundur, bilamana anggota-anggota masyarakat yang umum mulai berjuang satu sama lain untuk mengejar “goods” baik sosial, politik maupun partikulir dan khusus daya (dinamis) yang menyebabkan gerakan sejarah juga menjadi tenaga dan sebab yang memaksakan dan mempercepat keruntuhannya. Cita-cita dan kemauan manusia tidak sama untuk semua manusia dari zaman ke zaman, cita-cita dan kemauan juga berubah dengan manusia sendiri. Demikian tentang bentuk pemerintahan-pemerintahan misalnya ideal untuk manusia dari waktu-waktu pertama mungkin adalah pemerintahan raja yang tak terbatas kekuasaannya. Pada ideal itu ada berkumpul dan diarahkan segala tenaga dan daya anggota-anggota masyarakat. Mungkin kemudian ideal yang tesebut itu diubahkan dengan kemauan manusia, yang lebih suka dipelajari, diperintahkan oleh bentuk demokratis yang sebagai ideal kemauan manusia itu. Dengan singkat, manusia tidak puas lagi dengan status quo dan ideal yang lama dipandang sebagai suatu hal yang kolot. Demikian daya yang menyebabkan gerakan sejarah dan pembangunan kebudayaan yang tertentu sudah terjadi elemen reaksioner dan bermusuhan (pengahalang untuk bentuk yang baru).
“Such was the case with Greek prior to the beginning of the Atheno-Peloponnesian War in 431 B.C. Greek had called them selves Hellenes. They recognized a common race and language and common type of religion and culture over and againts that of the barbarians and the Parsians. The same multitudinous energies, once they axcape a reasonable guidance, become possessed of a dominis force, (Toynbee, vol. IX, 1953: 331-332).

2.2.2.      Pemikiran yang mempengaruhi
Ilmuwan yang mempelajari tentang peradaban selain Toynbee antara lain Ibnu Khaldun dan Oswald Spengler. Kedua tokoh tersebut sedikit banyak memberikan andil yang besar dalam pemikiran Toynbee. Terutama khaldun, yang oleh Toynbee dijuluki sebagai “Jenius Arab”. Hal ini dikarenakan Khaldun telah mampu untuk berpikir secara logis, objektif, dan analitik dalam karyanya berjudul Mukaddimah.Berikut adalah pemikiran kedua tokoh tersebut.

Khaldun (1332-1406) merupakan seorang sarjana Arab asal Tunisia. Ia melihat keteraturan lingkaran kehidupan peradapan, menyerupai lingkaran kehidupan organisme. Tumbuh-dewasa-uzur. Rentang waktu lingkaran kehidupan rezim politik kurang lebih sama yakni sekitar seratus tahun atau selama tiga generasi. Ada lingkaran perubahan tingkatan sosial atau solidaritas kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Perubahannya melalui tiga tahap, pertama ada solidaritas sangat kuat yang ditimbulkan oleh kekerasan kondisi kehidupan nomaden di gurun pasir. Kedua, munculnya kultur kehidupan menetap dilokasi tertentu dan meningkatnya kemakmuran memperburuk ikatan kelompok dan memperlemah solidaritas. Ketiga, ini menyebabkan hancurnya ikatan sosial, membubarkankelompok, lalu diikuti oleh kristalisasi kelompok berdasarkan ikatan sosial baru. Karya Khaldun yang menjadi inspirasi sebagian pemikir tentang peradaban adalah Mukaddimah.
Spengler (1880-1936), seorang filsuf barat menyatakan bahwa kebudayaan dan peradaban yang merupakan organisme kehidupan di wilayahnya sendiri, seperti tanaman, hewan, dan manusia, meskipun tingkatan yang paling tinggi. Ia mengidentifikasi sembilan organisme tertinggi, tiga di antaranya adalah Babilonia, Mesir Kuno, dan Klasik (Romawi-Yunani) di waktu lampau. Spengler mengatakan bahwa setiap peradaban besar mengalami proses pertahapan kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses perputaran itu mamakan waktu sekitar seribu tahun. Pandangan Spengler ini mengacu pada kebudayaan-kebudayaan yang kini telah tiada, seperti kebudayaan Yunani, Romawi, dan Mesir. Menurut Spengler, kebudayaan itu tumbuh, berkembang dan pudar laksana perjalanan gelombang; tetapi juga kadang-kadang juga muncul mendadak, berkembang dan kemudian lenyap. Kalau dumpamakan, laksana tahap perkembangan seorang manusia, melewati masa muda, masa dewasa, masa tua, dan akhirnya punah (Purnomo, 2003).
Dalam pemikiran Spengler, setiap kebudayaan mengalami empat stadium (Purnomo, 2003). Analog dengan musim, maka kebudayaan akan mengalami masa semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Musim semi adalah musim kanak-kanak. Pada waktu kebudayaan masa ini adalah masa mengatasi atau menetapkan. Periode kedua adalah masa remaja atau masa berkembang yag dianggap sebagai waktu untuk mematangkan diri. Di belahan dunia barat, masa ini terjadi pada saat renaissance. Periode ketiga adalah masa dewasa yang dalam kebudayaan ditandai dengan berdirinya kota besar. Dan masa keempat yang dinyatakan sebagai masa kehancuran atau kematian. Pada periode musim dingin ini adalah periode “material comfort”. Manusia menjadi budak dari mesin-mesin dan sistem-sistem industri. Akhir periode ini tercapai dengan datangnya theosophy baru, datangnya messiah, yang merupakan harapan.
Antara pemikiran Toynbee dan Spengler ada semacam kesamaan, yaitu tentang derak dari sejarah atau peradaban itu sendiri dan pendekatan yang digunakan. Apabila Spengler menyatakan bahwa kehancuran adalah layaknya organisme yang pasti terjadi dan tidak bisa ditahan, maka Toynbee menyatakan bahwa kehancuran bisa ditahan. Selain itu, ia menolak paham Spengler yang deterministik yang menggambarkan bahwa peradaban timbul dan tenggelam sebagai sebuah siklus yang mengikuti kehendak alam.
Pemikiran toynbee tentang peradaban adalah bahwa peradaban adalah bahwa peradaban selalu mengikuti alur mulai dari kemunculan sampai kehancuran. Teori Toynbee ini senada dengan hukum siklus. Artinya ada kelahiran, pertumbuhan, kematian, kemudian disusul dengan kelahiran lagi, dan seterusnya. Pemikiran Toynbee ini senada dengan teori yang berkembang di Yunani pada masa pra-Socrates.
Mengacu pada pemikiran Toynbee tentang terbentuknya gereja universal, munculnya penyelamat atau Al Mahdi, pernyataan bahwa peradaban adalah “tangan pelayan” dari agama, dan fungsi historis peradaban adalah sebagai batu loncatan menuju wawasan keagamaan maka secara tidak langsung pemikiran ini senada dengan pemikiran para pemikir petristik, seperti St Augustinus. Lebih lanjut lagi Toynbee menyatakan bahwa keruntuhan kebudayaan bisa dihentikan. Upaya menghentikan keruntuhan kebudayaan/peradaban yang mungkin berhasil ialah dengan penggantian segala norma-norma ketuhanan (Ali, 1961:85-87). Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa dengan penggantian itu, tampaklah pula tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan, atau dengan bahasan yang lebih konkret adalah Kerajaan Allah. Mengenai pendangan ini Ali menyatakan bahwa teori Toynbee merupakan muara teori Augustinus yaitu Civitas Dei (Purnomo, 2003:38;Ali, 1961:85-87).

2.3 Teori Kebudayaan
            Menurut teori Arnold J. Toynbee, yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah akibat dari Chalenge and Response. Segala ciptaan manusia pada hakikatnya adalah hasil usaha manusia untuk mengubah dan memberi bentuk serta susunan baru kepada pemberian alam, sesuai dengan kebutuhan jasmani dan rohaninya, itulah yang dinamakan kebudayaan atau culture. (R. Soekmono, 1958:9).
            Kebudayaan adalah dipelajari, diperoleh dari tradisi masyarakat dan cara-cara hidup dari anggota masyarakat, termasuk pola-pola hidup mereka, cara berpikir, perasaan, perbuatan, tingkah laku. Juga kebudayaan merupakan suatu sistem nilai (value) dan arti (meanings) yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang atau masyarakat termasuk pengejawatahan dari nilai-nilai dan arti dalam objek materi. Sekelompok orang atau masyarakat memiliki ide bersama mengenai apa yang benar atau salah, apa yang baik atau yang buruk, mereka juga memiliki pengetahuan tentang lingkungan dan cara-cara mengerjakan sesuatu. Kebudayaan tidak hanya dimiliki bersama tetapi kebudayaan itu dipelajari. Manusia tidak lahir dengan kebudayaan seperti halnya dengan lebah, dimana lebah dilahirkan dengan tingkah laku sosial yang bersifat naluri (instink). Sebagai gantinya manusia belajar kebudayaan dari masyarakatdengan cara menyelidiki dan diajar oleh anggota masyarakat yang lain.
            Manusia tidak dapat hidup sendiri, selalu berusaha mencari teman karena manusia hidup bermasyarakat. Ada kemungkinan, bahwa manusia yang mempunyai kebudayaan berpindah tempat atau dengan sengaja mencari tempat agar terdapat hubungan (relasi). Oleh karena itu ada kemungkinan kebudayaan menyebar dari satu daerah ke daerah lain.


BAB 3. PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Toynbee termasuk seorang filsuf sejarah spekulatif. Seperti filsuf-filsuf sejarah umumnya, ia pun ingin mencari dan menemukan struktur intern yang melatar belakangi arus peristiwa sejarah. Usaha itu dilakukan dengan bimbingan tiga pertanyaan utama : (1) Apa pola sejarah?; (2) Apa mekanisme sejarah?;.dan (3) Apa tujuan sejarah?
Toynbee menyelidiki sejarah dengan cara mengamati sejarah dari lingkup-lingkup kebudayaan (masyarakat) tertentu karena menurut dia, kebudayaan merupakan unit studi sejarah. Sebagai unit studi sejarah, kebudayaan harus dipandang sebagai suatu keseluruhan. Itu berarti ia bertolak dari asumsi tentang sejarah sebagai konstruk atau sistem.
            Seluruh hasil surveinya, yang dituangkan dalam buku A Study of History (12 jilid), menunjukkan bahwa ada 21 kebudayaan besar di dunia. Dengan mengikuti siklus kehidupan organisme, proses perkembangan kebudayaan itu berlangsung dalam 4 tahap: (1) kelahiran; (2) pertumbuhan; (3) keruntuhan; dan (4) kehancuran. Proses perkembangan masing-masing kebudayaan dalam keempat tahap itu memperlihatkan dengan jelas pandangan Toynbee mengenai pola, mekanisme, dan tujuan sejarah.
Pola sejarah yang dianut Toynbee, seperti terlihat dalam keenam jilid pertama, adalah pola siklis karena proses sejarah itu bergerak secara kontinu membentuk suatu lingkaran (lahir, bertumbuh, runtuh, dan hancur). Tetapi mulai akhir jilid VI proses sejarah menampakkan pola linier.
            Mekanisme sejarah tercermin dalam tiap-tiap tahap perkembangan kebudayaan. Proses kelahiran kebudayaan berlangsung dalam mekanisme "tantangan-dan--jawaban" (challenge-and--response); proses pertumbuhan dalam "penarikan diri-dan-kepulangan" (withdrawal-and-return) para pemimpin: proses keruntuhan dalam "pemusnahan secara total dan pemaksaan apa-apa yang baru" (rout-and-rally); dan proses kehancuran dalam "perpecahan dan pembentukan kelompok-kelompok serta institusi-institusi baru" (schismand-palingenesia).
           
3.2    Saran
Tujuan sejarah sudah tampak sejak akhir jilid VI di mana proses sejarah bergerak mengikuti garis lurus menuju Kerajaan Allah sebagai puncaknya. Maka disitulah manusia, yang telah mencapai status sebagai Manusia Super, menjalin hubungan langsung secara individual dengan Allah sendiri.
            Sebagian konsep Toynbee masih dirasakan relevansinya dengan kehidupan masyarakat modern sekarang, seperti konsep "tantangan-dan-jawaban". Untuk itu, kemajuan di segala bidang kehidupan manusia dewasa ini mencerminkan bagaimana dialektika antara tantangan dan jawaban berlangsung.
Demikian pula halnya dengan masyarakat Indonesia. Kemajuan dalam pembangunan selama ini membuktikan keberhasilan masyarakat Indonesia dalam menjawab tantangan. Tetapi di samping itu konsep-konsep Toynbee yang lain, seperti "minoritas kreatif",- "minoritas dominan", "proletariat", dan "alienasi", terkesan menarik bila diangkat ke permukaan karena menampakkan relevansinya dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini.
















DAFTAR PUSTAKA

Kartodirsjo, Sartono. 1986. Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur, Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah. Jakarta : PT Gramedia.
Ankersemit. F.R. 1987. Refleksi tentang Sejarah, Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta : PT Gramedia.
Tamburaka, Rustam E. 1997. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah,Sejarah Filsafat Dan Iptek. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Internet :
Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI – (tesis) Membership , Perkembangan Kebudayaan  dalam Perspektif Filsafat Sejarah : Sebuah Kajian tentang Pemikiran Arnold J. Toynbee. Yohanes Pande hayon.
 http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=78357&lokasi=lokal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar