PERKEMBANGAN ZAMAN MODERN
(Pemikiran Filsafat Sejarah Menurut A.J. Toynbee)
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sejarah
Kelas A
Oleh:
Abdul Hannan (130210302072)
Dosen Pembimbing I : Drs. Kayan Swastika M.Pd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa penyaji dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul "Perkembngan Zaman Modern (Pemikiran Filsafat
Sejarah Menurut A.J. Toynbee)”.
Dalam
pembuatan makalah ini, penyaji
mendapat bantuan dari berbagai pihak dan
refrensi beberapa buku, maka pada kesempatan ini penyaji mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :Drs. Kayan Swastika M.Pd. yang
telah memberikan kesempatan sehingga makalah ini dapat selesai dengan lancar.
Untuk kedua orang dirumah senantiasa memberikan do’anya, sehingga pembuatan
makalah ini dapat terselesaikan. Seluruh teman-teman kelas A yang turut berpartisipasi.
Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat
bagi pembaca pada umumnya dan penyaji pada
khususnya. Tiada Gading yang Tak Retak, untuk itu penyaji berharap saran dan kritik agar penyaji bisa lebih baik di kemudian hari. Akhir kata
penyaji sampaikan terimakasih.
Jember, 13 November 2014
Penyaji
DAFTAR ISI
Halaman
HAL COVER................................................................................................. i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR
ISI ................................................................................................. iii
BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah .............................................................................. 3
1.3 Tujuan ............................................................................................... 3
BAB 2. PEMBAHASAN............................................................................... 4
2.1 Riwayat
hidup A.J. Toynbee ..................................................................... 4
2.2 Konsep Peradaban Toynbee ............................................................... 5
2.2.1 Teori Sejarah dan Pandangan Filsafat Sejarah
Menurut Arnold J. Toynbee (1889- ) 6
2.2.2 Pemikiran yang mempengaruhi .................................................. 14
2.3 Teori Kebudayaan .............................................................................. 17
BAB 3. PENUTUP......................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 18
3.2 Saran.................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 20
BAB
1. PANDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seorang sejarawan Inggris Toynbee
yang bernama lengkap Arnold Joseph Toynbee lahir di London, Inggris pada 14
April 1889. Ia merupakan tokoh sejarawan yang menghasilkan karya berjudul A
Study of History. Karyanya tersebut, yang terdiri dari 12 Jilid, telah
menempatkan studi filsafat sejarah lebih maju berdasarkan atas analisa cyclical development (1. The prophets of
the west hlm 181) dan runtuhnya sebuah peradapan dan memprovokasi banyak sekali
diskusi dalam tahun-tahun sesudahnya.
Toynbee seringkali dikira sebagai
pamannya Arnold Toynbee yang adalah seorang ahli ekonomi pada abad 19. Ia
mengenyam pendidikan di Balliol College, Oxford dan melanjutkan studinya yang
singkat di British School, Atena. Dan pada 1922 ia memulai pengerjakan
karyanya, yakni A Study of History, yang merupakan hasil dari inspirasinya
mengamati petani-petani Bulgaria mengenakan topi dari kulit rubah layaknya
pelindung kepala pasukan Xerxes seperti dideskripsikan oleh Herodotus. Kejadian
ini membuka karakteristik-karateristik yang memberikan sebuah kualitas lain
pada karyanya- pemahamannya akan luasnya keberlangsungan sejarah dan
kejeliannya akan pola sejarah, luasnya pengetahuannya, serta kemampuannya
mengobservasi secara tajam.
Dalam bukunya tersebut Toynbee
menelaah sebanyak 26 peradaban serta alasan mengapa mereka terbentuk dan runtuh
sepanjang sejarah manusia. Sebuah kesimpulanpun ia dapatkan, yakni bahwa
bangkitnya sebuah peradaban merupakan sebuah keberhasilan dari peradaban itu
dalam merespon tantangan-tantangan yang mereka hadapi dibawah kepemimpinan
segelintir kecil orang-orang kreatif yang pada akhirnya membentuk sebuah
kelompok elit. Dan runtuhnya sebuah peradaban adalah saat dimana sekelompok
pemimpin tersebut berhenti memberikan respon-respon kreatif, lalu peradaban
tersebut tenggelam karena dosa-dosa dari nasionalisme, militerisme, dan sebuah
rezim tirani. Tidak seperti Sprengler dalam bukunya The Decline of TheWest,
Toynbee tidak melihat runtuhnya sebuah peradaban sebagai sesuatu yang tak
terhindarkan (2. Prophets of the west hlm 185), karena sebuah peradaban dapat
berhasil atau tidak dalam menghadapi tantangannya sendiri. Lain pula halnya
dengan Karl Marx yang melihat sejarah dari sudut pandang daya ekonomi, Toynbee
melihat sejarah sebagai sesuatu yang terbentuk secara spiritual.
Karena pemikiran-pemikiran dan karya-karyanya, Toynbee telah menerima
banyak kritik-kritik tajam dari para sejarawan lain. Secara garis besar,
kritik-kritik tersebut menitik beratkan pada fakta penggunaan Toynbee akan
mitologi-mitologi dan metafor-metafor yang lalu ia bandingkan dengan
data-data faktual, serta atas argumen-argumennya secara general tentang bangkit
dan runtuhnya sebuah peradaban yang terdengar seperti terlalu banyak bersandar
pada cara pandang agama sebagai sebuah daya regeneratif. Banyak dari kritik
yang dilontarkan tersebut adalah lantaran kesimpulan-kesimpulan yang diambil
Toynbee dirasa sebagai kesimpulan yang dibuat dari seorang moralis Kristiani
ketimbang dari seorang sejarawan. Bagaimanapun juga, karya-karyanya dipuji
sebagai sebuah jawaban yang menstimulasi atas tendensi penelitian sejarah
modern yang cenderung fokus pada satu hal saja.
Atas dasar itulah
penulis merasa bahwa pemikiran-pemikiran Toynbee perlu dibahas lebih jauh serta
ditanggapi. Pada bagian selanjutnya penulis akan pertama-tama
menguraikan pemikiran Toynbee secara singkat tentang terpuruknya sebuah
peradaban, disintegrasi peradaban, serta kemajuan peradaban dan agama.
Setelahnya penulis akan mencoba memberikan tanggapan kritis atas
pemikiran-pemikiran tersebut.
1.2.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Arnold J.
Toynbee?
2. Bagaimana hasil pemikiran Arnold
J. Toynbee?
3. Bagaimana respon terhadap karya
Arnold J. Toynbee?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui riwayat hidup Arnold
J. Toynbee.
2. Mengetahui hasil pemikiran Arnold
J. Toynbee.
3. Mengetahui respon terhadap karya
Arnold J. Toynbee.
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1
Riwayat Hidup A.J. Toynbee
Seorang Ahli
sejarah Inggris yang lahir di London, Inggris pada 14 April 1889. Ia merupakan
tokoh sejarawan besar yang menulis buku monumental yang mengulas tentang
peradaban manusia yang berjudul “A Study of History”. Ia mengenyam
pendidikan di Balliol College, Oxford dan melanjutkan studinya yang singkat di
British School, Atena.
Toynbee adalah anak dari Henry Valpy Toynbee,
seorang pengimpor teh yang beralih menjadi pekerja sosial, dan Sarah Edith
Marshall, sarjana unofficial di bidang sejarah dari Universitas Cambridge. Dan
merupakan kemenakan dari seorang sejarawan terkenal Arnold Toynbee, di mana
namanya dengan sang paman sering salah digunakan karena kemiripan nama.
Dia
menamatkan studinya di Winchester College dan Baliol College di Oxford Inggris
kemudian pada British Archaeological School di Athena Yunani. Ia memulai karir
sebagai pengajar di Balliol pada tahun 1912, dan kemudian menjadi pengajar di
King’s College, London kemudian sebagai Profesor sejarah Modern Yunani dan
Binzantium, menjadi guru besar sejarah internasional di Universitas London pada
1925-1946, serta pada London School Economics dan di Royal Institute of
International Affairs (RIIA) di Chatam House. Kemudian ia menjadi pemimpin dari
RIIA pada tahun 1925-1955 (Ekayati, 1996). Dia bekerja pada departemen Ilmu
Pengetahuan di Departemen Luar Negeri Inggris dan pada saat perang dunia
pertama berlangsung dan kemudian menjadi delegasi pada Paris Peace Conference
pada tahun 1919 dan pada 1946 menjadi delegasi untuk acara yang sama. Bersama
dengan asisten penelitinya, Veronica M. Boulter, yang kemudian nantinya menjadi
istri keduanya, dia menjadi co-editor Survey of International Affairs yang
diadakan RIIA. Pada saat perang dunia kedua, dia kembali bekerja di departemen
luar negeri dan menjadi pembicara pada seminar tentang perdamaian.
Kehidupan
pribadinya, ia menikah dengan rosalind Murray, purti dari Gilbert Murray dan
dikaruniai tiga orang putera. Namun mereka bercerai, dan kemudian Toynbee
menikah dengan Veronica M. Boulter pada tahun 1946. Toynbee meninggal pada 22 Oktober
1975.
Di samping teori ia
juga berpendapat tentang sejarah sebagai berikut: Ada dua kelompok masyarakat
yang penting bagi studi sejarah. Pertama adalah kelompok masyarakat primitif
yang penyelidikannya dilakukan oleh ahli antropologi dan ahli arkeologi. Yang
kedua, adalah masyarakat historis yang timbul sekitar lima atau enam ribu tahun
yang lalu dan yang merupakan objek material para ahli sejarah. (Endang D. Asdi,
1980; S. Hardjosatoto, 1985: 22-23).
Studi
sejarah berarti studi yang menyeluruh, yaitu studi tentang kehidupan manusia
seutuhnya, bukan studi tentang sesuatu negara atau sesuatu bangsa saja. Studi
sejarah merupakan suatu studi peradaban masyarakat sebagai satu kesatuan,
sebagai satu unit sejarah. Pembagian sejarah menjadi sejarah kuno, Abad
pertengahan dan modern sesungguhnya memperkosa peradaban tertentu untuk
digolongan ke dalam peradaban yang lain.
Berdasarkan
pada asumsi bahwa sejarah merupakan studi tentang peradaban, maka Toynbee
mengatakan bahwa ada kesinambungan dalam sejarah. Kesinambungan ini dapat
diibaratkan seperti hubungan orang tua dan anak. Meskipun begitu bukan
kesinambungan kehidupan individu, melainkan suatu keberlangsungan dari generasi
ke generasi secara berurutan. Peradapan mempunyai siklus atau pola tertentu
yakni lahir, tumbuh dan hancur. Fase-fase ini secara pasti dialami oleh setiap
peradaban. (Tamburaka, halaman 13).
2.2
Konsep Peradaban Toynbee
Toynbee
membagi sejarah dunia dalam 26 peradaban. Dari jumlah peradaban itu 16 telah
musnah, tiga lebur, sementara itu 7 lainnya masih bertahan. Ketujuh peradaban
itu kemudian dikombinasikan menjadi lima, yaitu (1) Peradaban Barat, (2)
Kristen Ortodoks, termasuk Eropa Tenggara, (3) Islam, (4) Hindu, dan (5) Timur
Jauh, termasuk di dalamnya Cina, Jepang, dan Korea (Ekayati, 1996). Pembagian
sejarah ini yang mendasari dilakukannya kajian tentang peradaban dalam bukunya,
A Study of History. Peradaban-peradaban yang menjadi kajian dari Toynbee adalah
Mesir, Andean, Sinic, Minoan, Sumeria, Maya, Indic, Hittite, Hellenik,
Peradaban Barat, Kristen Kaum ortodox di Rusia dan Eropa, Cina dan timur jauh
(Korea/Jepang), Iran, Arab, Hindu, Mexic, Yucatek, dan Babylonia. Selanjutnya
itu ada empat ‘abortif civilisations’ (Kristen Barat Jauh, Kristen timur Jauh,
Sytiac, dan Scandinavia) dan lima peradaban yang bertahan (arrested
civilization) yaitu Polinesia, Eskimo, Nomadic, ottoman, dan Spartan. Dari
sekian peradaban yang ditelitinya total ada tiga puluh peradaban.
2.2.1
Teori Sejarah dan Pandangan Filsafat Sejarah Menurut Arnold J. Toynbee (1889- )
Seorang sarjana
Inggris yang menggemparkan dunia sejarah ialah Arnold J. Toynbee dengan
karangannya :A Study of History terdiri
12 (dua belas) jilid yang tebal-tebal (jilid pertama diterbitkan pada tahun
1933). Teori Toynbee didasarkan atas penyelidikan 21 kebudayaan yang sempurna
dan 9 kebudayaan yang kurang sempurna. Kebudayaan sempurna umpamanya :
Junani-Roma, Maya (Amerika Tengah), Hindu, Barat (Eropa), Eropa Timur dan
sebagainya.Yang tidak sempurna antara lain : Eskimo, Sparta, Polynesia, Turki.
Kesimpulan A.J. Toynbee ialah bahwa dalam gerak sejarah tidak terdapat hukum
tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan
dengan pasti.
Yang disebut kebudayaan
(civilization) oleh Toynbee ialah
wujud dari pada kehidupan suatu golongan seluruhnya yaitu seperti yang disebut
oleh O. Spengler sebagai kultur dan civilization.
Menurut Toynbee gerak-sejarah
melalui tingkatan-tingkatan seperti berikut:
1.
Genesis
of civilization-lahirnya kebudayaan.
2.
Growth
of civilization-perkembangan kebudayaan.
3.
Decline
of civilization-keruntuhan kebudayaan.
Keruntuhan kebudayaan
berlangsung dalam tiga fase (gelombang), yaitu:
a) Breakdown of civilizations-kemerosotan
kebudayaan.
b) Desintegration of civilization-perkembangan
kbudayaan.
c) Dissolution of civilization-hilang
dan lenyapnya kebudayaan.
Suatu kebudayaan
terjadi, dilahirkan karena tantangan dan jawaban (challenge-and-response) antara manusia dengan alam sekitarnya.
Dalam alam yang baik menusia berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan seperti
Eropa, India, Tiongkok. Di daerah yang terlalu dingin seolah-olah kegiatan
manusia membeku (Eskimo); daerah yang terlalu panas tak dapat timbul pula suatu
kebudayaan (Sahara, Kelahari, Gobi). Maka apabila tantangan alam itu baik
timbullah suatu kebudaan.
Pertumbuhan dan
perkembangan suatu kejadian digerakkan oleh sebagian kecil dari pihak-pihak
kebudayaan itu. Jumlah kecil (minor-ity)
itu menciptakan kebudayaan; dan massa (mayority)
meniru. Tanpa minority yang kuat dan dapat mencipta suatu kebudayaan tidak
dapat berkembang.
Apabila minority
menjadi lemah dan kehilangan daya menciptanya, maka tantangan-tantangan dari alam
tidak dapat dijawab lagi. Minority menyerah, mundur dan pertumbuhan tidak
terdapat lagi. Apabila keadaaan sudah memuncak seperti itu, maka keruntuhan (decline) mulai tampak. Keruntuhan itu
terjadi dalam tiga masa atau gelombang yaitu:
a.
Kemerosotan kebudayaan. Oleh sebab
minoritas kehilangan daya menciptaya serta kehilangan kewibawaannya maka
minority tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan di dalam kebudayaan
(antara minoritas dan mayoritas) pecah dan tentulah tunas-tunas hidupnya
kebudayaan akan lenyap.
b.
Kehancuran kebudayaan mulai tampak
setelah tuas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah
pertumbuhan terhenti maka seolah-olah daya hidup itu membeku dan terdapatlah
suatu kebudayaan yang tidak berjiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai
petrification, pembuatan atau kebudayaan yang suda menjadi batu, mati dan
menjadi fosil.
c.
Lenyapnya kebudayaan ialah apabila tubuh
kebudayaan yang sudah membatu itu hancur-lebur, lenyap.
Tiga masa ini yaitu breakdown-disintegration-dissolution
tidak berlangsung berturut-turut dengan cepat.
Antara breokdown dengan dissolution sering terbentang masa 2000 tahun; masa peralihan itu
ialah masa pembuatan atau petrification
itu. Kebudayaan Tiongkok-kuno umpamanya berada dalam masa petrification itu “menunggu” masa dissolution.
Pada masa breakdown
sebelum masa disintegration timbul, sering terdapat suatu usaha untuk
menghentikan kehancuran. Usaha itu dipimpin oleh jiwa-jiwa besar yang bertindak
seolah-olah sebagai Al-Masih itu tidak berhasil sama sekali.
Suatu usaha untuk
menghentikan keruntuhan suatu kebudayaan yang mungkin berhasil ialah
penggantian dari segala norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan.
Maka dengan penggantian itu tampaklah bahwa tujuan gerak sejarah ialah
kehidupan ketuhanan atau dengan lebih konkret: Kerajaan Allah menurut paham
Protestan Inggris; mengetahui kehendak Allah dan wujud dari pada kehendak itu
dalam sejarah agar dapat lebih-lebih mencintai Tuhan.
Dengan demikian
jelaslah bahwa garis besar dari pada teori Toynbee mirip dengan tafsiran Santo
Augustinus. Akhir dari pada gerak sejarah pun sama jua: Civitas Die. Maka
apabila Toynbee dapat disebut sebagai muara teori Augustinus, teori Spengler
adalah bentuk hukum-fatum-cyclus atau sejenis cakra-manggiling dalam
ujud-bentuk modern, maka teori-Mark merupakan muara hukum-fatum, dengan
penambahan unsur-unsur evolusi.
Penjelasan tentang
teori dan filsafat menurut Arnold Joseph Toynbee (1889- ) dikutip dari
karya-karyanya berjudul:
1)
A
study of History. Oxford, 1934 vols, 1-3, 1939, vols,
4-6 1953, vols. 7-10.
2)
The
world and the west, oxford 1953.
3)
An
historian’s approach to religion, Oxford University
Press, dalam A, Marks dan R.E. Tamburaka, 1965: 30-33).
Kita sekalian
mengetahui betapa besarnya pengaruh geografis atas perbuatan manusia, sehingga
ada tersebutkan bahwa: Manusia adalah hasil sekitarnya. Tujuan segala pekerjaan
kultural ialah menjadi tuan atas keadaan geografis serta dengan segala benda
materiil yang berada di dalamnya. Keadaan geografis saja tidak menyebabkan
kejadian-kejadian bersejarah, bahwa hanya keadaan geografis saja tidak
menyebabkan/mengakibatkan suatu perbedaan; tidak bisa diberi sebab, mengapa
keadaan Maya sudah berkembang justru di dalam pegunungan Amerika Tengah, dan
mengapa itu tidak berkembang di dalam tanah rata atau pada pesisir pantai.
Toynbee sudah membuktikan, bahwa keadaan geografis, betapa besar pun juga
pengaruhnya, tidak ada “causal potence in human affairs”. Pengaruh tempat
kediaman tidak begitu besar, sehingga itu dapat membetulkan kekhusususan suatu
kebudayaan. Ditolaknya juga anggapan yang umum, bahwa suatu kebudayaan tumbuh
dan berkembang hanya dalam keadaan geografis dan syarat-syarat hidup yang
paling baik luar biasa cocok. Toynbee sudah menyelidiki kebudayaan Maya,
peradaban India di Ceylon, keadaan Polynesia hingga puncaknya dari New England
lalu menarik kesimpulan dari semua penyelidikan itu, bahwa manusia menciptakan
kebudayaan sekaligus sebagai pendukung kebudayaan yang diciptakannya dengan
syarat-syarat tertentu.
Maksud segala
penyelidikannya ialah mengutarakan bagaimanakah kebudayaan masing-masing
timbul, berkembang dan akhirnya mundur lagi dan untuk mengerti, adakah sesuatu
yang pasti (law, hukum, peraturan) yang menyebabkan baik tumbuh dan
perkembangan maupun juga kemunduran setiap kebudayaan.
Adapun akibat-akibat
dari penyelidikannya Toynbee mendapatkan tesis sebagai berikut: Tiada hukum
yang pasti dan lingkaran-lingkaran tertentu, melalui mana manusia haruslah satu
persatu (there are no laws of historical cycles after another). Studi of
History, vol, IX, pp, 338 ff: Are laws of nature current in history inexorably
or controllable?. Toynbee berusaha menjawab pertanyaan tentang maksud dan
tujuan sejarah (de zin der Geschiedenis, atau filsafat tentang sejarah) itu
bukan seperti seorang filsuf yang benar, melainkan seperti seorang historian
yang terpelajar dalam studi empiris dan yang berdasrkan atas keyakinan religius
sejati (citati by David. Richardson in the philosophy of history and the
stability of civilization” vol. XX 1957: 159).
Toynbee tidak
membedakan antara civilization dan yang disebut culture sebagai istilah-istilah
yang saling berlainan, kedua-suanya diambil seperti sinonim. “The words
civilization and culture, do not only indicate a speciale quality of a society
or commonwealth, but also signify the general society or commonwealth it self.”
(A study of history, Vol. III, 1934: 221).
Demikian civilization
yang tumbuh dapat dibatasi seperti sesuatu, dalam komponen-komponen
kebudayaannya-elemen ekonomi, elemen politik dan yang ketiga yang dapat disebut
elemen culture per excelence ada dikembangkan dengan ilmu lainnya, seperti
sesuatu dalam elemen-elemen yang tersebut itu melawan satu dengan yang lain (A growning civilization can be defined as
one in which the components of its culture-an economic element, a political
element, and third which may be called the cultural element par excellent-are
in harmony with one another; and on the same principle, a disintegrating
civilization can be defined as one in which the same element have in to
discord. A study of history, vol, IX, 1953:7 dalam A. Marks & R.E.
Tamburaka, 1965: 30).
Berhubung dengan teori,
yang mana pun juga tentang penjelasan maksud sejarah adalah suatu pertanyaan
yang paling praktis dan penting, yaitu: Bagaimanakah kita dapat melindungi
kita, supaya itu juga melalui jalan yang sama kebudayaan-kebudayaan yang sudah
berlalu?
Kita tidak menyangkal,
bahwa kebudayaan kita sudah ada banyak kebudayaan yang lain dan yang mungkin
lebih tinggi dalam tingkatannya dan lebih dalam perkembangannya.
1. Mac
Iver and Page, Society, An Intoductory
analysis, New York, 1957: 104.
2. Summary
of Toynbee’s Study, Presented by D.C. Somervell: A Study of history abridgement of volumes 1-6. New York, 1947.
Apa
sebab kebudayaan-kebudayaan yang maju akhirnya menjadi mundur?
Kalau telah mundur,
mengapa kebudayaan yang kita punyai tidak bisa mundur? Dengan kata lain:
Berkembanglah sejarah manusia melalui jalan cycles? (lingkaran peredaran) atau
tidak? Toynbee telah menyelidiki dengan teliti susunan kebudayaan yang lebih
tinggi pada umumnya dan pada khususnya gerakan, naik dan turun dari pelbagai
kebudayaan.
Dalam gubahannya “A
Study of history” disebutnya 21 kebudayaan (civilization) yang berlainan dalam
perjalanan sejarah dan dari semua itu hanya lima yang hidup terus sampai
sekarang.
Dalam penyelidikannya
telah ditemukan kegiatan tertentu dalam masing-masing kebudayaan dan yang
menyebabkan kemunduran kebudayaan-kebudayaan tersebut.
Toynbee berkata:
Setelah kita mempelajari sejarah kebudayaan yang dulu dengan teliti maka
ternyatalah, bahwa salah satu kebudayaan yang baru setelah beberapa tahun dari
waktu asalnya mengalami suatu periode uang penuh dengan kekacauan (time of
troubles).
Sifat-sifat pada waktu
itu khususnya peperangan; kwmudian setelah 400 tahun yang lain kebudayaan yang
tersebut itu akan tunduk kepada “universal state”.
Akhirnya
setelah 400 tahun yang lain kebudayaan itu hilang eksistensina dan
kadang-kadang sama sekali tak ada lagi.
Proses
kemunduran (dari permulaan time of troubles) disifatkan dengan peristiwa
bersejarah yang berturut-turut dengan jarak-jarak pasti; kecelakaan yang
terbesar dari semua itu adalah pembinasaan yang bukan main hebatnya karena
suatu perang. Lihat skema di bawah ini:
400 400 400
A
----------------- B -------------- C --------------------------- 000000000000
Umpamanya
dari sejarah kebudayaan Gerika-Rumawi:
B yaitu time
of trouble dimulai dengan perang Peloponnesus 431-404 pertentangan di
antara Athena dan Korinth (Sparta).
C yaitu time
of troubles diganti oleh universal
state dengan peperangan saudara di Roma di abad pertama sebelum Masehi
(Pompeius, Caesar, Grassus, Sulla).
Peristiwa
atau catastrophic event dinamakan “routs or relapses” (hal runtuh lagi) dan
mereka diganti oleh gerakan renaissance yag dinamakan “rallies” (menghidupkan
kembali). Mereka saling berturut-turut menurut suatu skema yang tertentu yaitu
3,5 yaitu relapse yang terakhir dari periode universal state tidak lagi diganti
oleh suatu rally. Setiap kebudayaan yang sudah mundur telah mengalami 2 periode
utama yaitu pertumbuhan sosial dan kemunduran sosial.......
Umpamanya: Rout yang pertama dari sejarah Gerika
Rumawi terjadilah dengan Perang Peloponesus (431) yang juga adalah permulaan
time of troubles.
Rally yang pertama adalah
percobaan memperbarui dan menguatkan kesatuan politik 50 tahun sebelum perang
melawan Hannibal.
Rout yang kedua
terjadi dengan tahun 218 yaitu perang di antara kota Roma dan bagian-bagian
lain dari Imperium Rumawi (218-31 S.M.).
Rally yang kedua mulai
denga pemerintahan kaisar Augustus dan juga ada permulaan “universal state” 31
S.M. Periode itu 431-31 justru 400 tahun lamanya. Relapse yang ketiga terjadi
dengan kejadian setelah kematian kaisar Marcus Aurelius pada tahun 180 set. M.
Rally yang terakhir
mulai dengan pemerintahan Diocletianus pada tahun 284 relapse yang terakhir dan
keruntuhan kebudayaan terjadi pada tahun 378 set. M.
Demikian
juga berlalu 400 tahun dari 31 seb. 378 set. M. 3,5 pukulan baik rout maupun
ralies meliputi kemunduran kebudayaan Gerika-Rumawi sepanjang 800 tahun lamanya
yaitu dari 431 seb. M. Sampai 379 set. M. Waktu dari 800 tahun lamanya sudah
dibagikan dalam time of history, vol. VI, 1953: 287-291, The rhythm in Hellenic
history.
No
man caused the interval of the universal state to be about 400 years (221 B.C.
– A.D. 172) No human being caused the rhythm of decline to be 3.5 beats.
1. Relapse
tahun 634-551 = 1 rout
551-403 = 1 rally
2. Relapse 403-221 = 1 rout ca 400 tahun
lamanya
221 = universale state
3. Relapse 221-9 = 1 rout
9-172 = 1 rally ca 400 tahun lamanya
Final relapse 172 = 1 rout
Therefore 3 beats
The “breakdown” keruntuhan suatu kebudayaan tidak
bersifat suatu breakdown dalam arti yang sebenarnya, melainkan dalam arti
dialektis. Artinya, bahwa setiap proses kebudayaan yang baru muncul dari barang
bekas dan sisa-sisa bentuk masyarakat yang lebih dahulu (A.J. Toynbee, vol, X,
1953:291-292). Kita sudah mengenal dan mengalami bahwa sejarah umat manusia bergerak
terus, tetapi apakah yang menyebabkan gerakan sejarah itu?
Menurut Toynbee adalah
“goods” berupa-rupa, baik sosial dan ekonomis, maupun partikulir dan nasional
yang diciptakan dan dirindukan oleh manusia. Dan lagi pula cita-cita dan tujuan
yang tersebut dan yang bersifat the dynamism of history terdapat hampir pada
semua bangsa dan dalam kebudayaan dan sejarahnya.
Kemauan manusia itu
sama sekali tidak bisa dipandang sebagai suatu dorongan partikulir saja, suatu
daya yang berasal dari cita-cita satu orang saja dan yang melanggar segala
keadaan teratur, melainkan suatu bentuk masyarakat yang pasti dan teguh yang
mengumpulkan dan mengerahkan segala tenaga dan daya yang berada di dalamnya
kesuatu keseimbangan yang umum. Keadaan teratur itu dikuatkan dan meneguhkan
dengan suatu kepercayaan religius dan kurang lebih kehidupan menurut
tuntutan-tuntutan etis (dalam arti yang amat luas).
Bilamana tampak
keruntuhan keadaan itu, maka juga berikutlah suatu kemunduran kebudayaan
sendiri. “The breakdown of Hindu civilization about A.D. 1175 was made possible
by the discord and military conflicts into which the member state fell”.
(Toynbee, vol X, 1953: 231-237). Dengan kata lain, suatu kebudayaan berhenti
dalam perkembangannya dan mulai mundur, bilamana anggota-anggota masyarakat
yang umum mulai berjuang satu sama lain untuk mengejar “goods” baik sosial,
politik maupun partikulir dan khusus daya (dinamis) yang menyebabkan gerakan
sejarah juga menjadi tenaga dan sebab yang memaksakan dan mempercepat
keruntuhannya. Cita-cita dan kemauan manusia tidak sama untuk semua manusia
dari zaman ke zaman, cita-cita dan kemauan juga berubah dengan manusia sendiri.
Demikian tentang bentuk pemerintahan-pemerintahan misalnya ideal untuk manusia
dari waktu-waktu pertama mungkin adalah pemerintahan raja yang tak terbatas
kekuasaannya. Pada ideal itu ada berkumpul dan diarahkan segala tenaga dan daya
anggota-anggota masyarakat. Mungkin kemudian ideal yang tesebut itu diubahkan
dengan kemauan manusia, yang lebih suka dipelajari, diperintahkan oleh bentuk
demokratis yang sebagai ideal kemauan manusia itu. Dengan singkat, manusia
tidak puas lagi dengan status quo dan ideal yang lama dipandang sebagai suatu
hal yang kolot. Demikian daya yang menyebabkan gerakan sejarah dan pembangunan
kebudayaan yang tertentu sudah terjadi elemen reaksioner dan bermusuhan
(pengahalang untuk bentuk yang baru).
“Such
was the case with Greek prior to the beginning of the Atheno-Peloponnesian War
in 431 B.C. Greek had called them selves Hellenes. They recognized a common
race and language and common type of religion and culture over and againts that
of the barbarians and the Parsians. The same multitudinous energies, once they
axcape a reasonable guidance, become possessed of a dominis force,
(Toynbee, vol. IX, 1953: 331-332).
2.2.2.
Pemikiran
yang mempengaruhi
Ilmuwan
yang mempelajari tentang peradaban selain Toynbee antara lain Ibnu Khaldun dan
Oswald Spengler. Kedua tokoh tersebut sedikit banyak memberikan andil yang
besar dalam pemikiran Toynbee. Terutama khaldun, yang oleh Toynbee dijuluki
sebagai “Jenius Arab”. Hal ini dikarenakan Khaldun telah mampu untuk berpikir
secara logis, objektif, dan analitik dalam karyanya berjudul Mukaddimah.Berikut adalah pemikiran
kedua tokoh tersebut.
Khaldun
(1332-1406) merupakan seorang sarjana Arab asal Tunisia. Ia melihat keteraturan
lingkaran kehidupan peradapan, menyerupai lingkaran kehidupan organisme.
Tumbuh-dewasa-uzur. Rentang waktu lingkaran kehidupan rezim politik kurang
lebih sama yakni sekitar seratus tahun atau selama tiga generasi. Ada lingkaran
perubahan tingkatan sosial atau solidaritas kelompok dalam kehidupan
sehari-hari. Perubahannya melalui tiga tahap, pertama ada solidaritas sangat kuat yang ditimbulkan oleh kekerasan
kondisi kehidupan nomaden di gurun pasir. Kedua,
munculnya kultur kehidupan menetap dilokasi tertentu dan meningkatnya
kemakmuran memperburuk ikatan kelompok dan memperlemah solidaritas. Ketiga, ini menyebabkan hancurnya ikatan
sosial, membubarkankelompok, lalu diikuti oleh kristalisasi kelompok
berdasarkan ikatan sosial baru. Karya Khaldun yang menjadi inspirasi sebagian
pemikir tentang peradaban adalah Mukaddimah.
Spengler
(1880-1936), seorang filsuf barat menyatakan bahwa kebudayaan dan peradaban
yang merupakan organisme kehidupan di wilayahnya sendiri, seperti tanaman,
hewan, dan manusia, meskipun tingkatan yang paling tinggi. Ia mengidentifikasi
sembilan organisme tertinggi, tiga di antaranya adalah Babilonia, Mesir Kuno,
dan Klasik (Romawi-Yunani) di waktu lampau. Spengler mengatakan bahwa setiap
peradaban besar mengalami proses pertahapan kelahiran, pertumbuhan, dan
keruntuhan. Proses perputaran itu mamakan waktu sekitar seribu tahun. Pandangan
Spengler ini mengacu pada kebudayaan-kebudayaan yang kini telah tiada, seperti
kebudayaan Yunani, Romawi, dan Mesir. Menurut Spengler, kebudayaan itu tumbuh,
berkembang dan pudar laksana perjalanan gelombang; tetapi juga kadang-kadang
juga muncul mendadak, berkembang dan kemudian lenyap. Kalau dumpamakan, laksana
tahap perkembangan seorang manusia, melewati masa muda, masa dewasa, masa tua,
dan akhirnya punah (Purnomo, 2003).
Dalam
pemikiran Spengler, setiap kebudayaan mengalami empat stadium (Purnomo, 2003).
Analog dengan musim, maka kebudayaan akan mengalami masa semi, musim panas,
musim gugur, dan musim dingin. Musim semi adalah musim kanak-kanak. Pada waktu
kebudayaan masa ini adalah masa mengatasi atau menetapkan. Periode kedua adalah
masa remaja atau masa berkembang yag dianggap sebagai waktu untuk mematangkan
diri. Di belahan dunia barat, masa ini terjadi pada saat renaissance. Periode
ketiga adalah masa dewasa yang dalam kebudayaan ditandai dengan berdirinya kota
besar. Dan masa keempat yang dinyatakan sebagai masa kehancuran atau kematian.
Pada periode musim dingin ini adalah periode “material comfort”. Manusia menjadi budak dari mesin-mesin dan
sistem-sistem industri. Akhir periode ini tercapai dengan datangnya theosophy baru, datangnya messiah, yang
merupakan harapan.
Antara
pemikiran Toynbee dan Spengler ada semacam kesamaan, yaitu tentang derak dari
sejarah atau peradaban itu sendiri dan pendekatan yang digunakan. Apabila
Spengler menyatakan bahwa kehancuran adalah layaknya organisme yang pasti
terjadi dan tidak bisa ditahan, maka Toynbee menyatakan bahwa kehancuran bisa
ditahan. Selain itu, ia menolak paham Spengler yang deterministik yang
menggambarkan bahwa peradaban timbul dan tenggelam sebagai sebuah siklus yang
mengikuti kehendak alam.
Pemikiran
toynbee tentang peradaban adalah bahwa peradaban adalah bahwa peradaban selalu
mengikuti alur mulai dari kemunculan sampai kehancuran. Teori Toynbee ini
senada dengan hukum siklus. Artinya ada kelahiran, pertumbuhan, kematian,
kemudian disusul dengan kelahiran lagi, dan seterusnya. Pemikiran Toynbee ini
senada dengan teori yang berkembang di Yunani pada masa pra-Socrates.
Mengacu
pada pemikiran Toynbee tentang terbentuknya gereja universal, munculnya
penyelamat atau Al Mahdi, pernyataan bahwa peradaban adalah “tangan pelayan”
dari agama, dan fungsi historis peradaban adalah sebagai batu loncatan menuju
wawasan keagamaan maka secara tidak langsung pemikiran ini senada dengan
pemikiran para pemikir petristik, seperti St Augustinus. Lebih lanjut lagi
Toynbee menyatakan bahwa keruntuhan kebudayaan bisa dihentikan. Upaya menghentikan
keruntuhan kebudayaan/peradaban yang mungkin berhasil ialah dengan penggantian
segala norma-norma ketuhanan (Ali, 1961:85-87). Lebih lanjut lagi, ia
menyatakan bahwa dengan penggantian itu, tampaklah pula tujuan gerak sejarah
ialah kehidupan ketuhanan, atau dengan bahasan yang lebih konkret adalah
Kerajaan Allah. Mengenai pendangan ini Ali menyatakan bahwa teori Toynbee
merupakan muara teori Augustinus yaitu Civitas Dei (Purnomo, 2003:38;Ali,
1961:85-87).
2.3
Teori Kebudayaan
Menurut teori
Arnold J. Toynbee, yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah akibat dari Chalenge and Response. Segala ciptaan
manusia pada hakikatnya adalah hasil usaha manusia untuk mengubah dan memberi
bentuk serta susunan baru kepada pemberian alam, sesuai dengan kebutuhan jasmani
dan rohaninya, itulah yang dinamakan kebudayaan atau culture. (R. Soekmono,
1958:9).
Kebudayaan
adalah dipelajari, diperoleh dari tradisi masyarakat dan cara-cara hidup dari
anggota masyarakat, termasuk pola-pola hidup mereka, cara berpikir, perasaan,
perbuatan, tingkah laku. Juga kebudayaan merupakan suatu sistem nilai (value)
dan arti (meanings) yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang atau masyarakat
termasuk pengejawatahan dari nilai-nilai dan arti dalam objek materi. Sekelompok
orang atau masyarakat memiliki ide bersama mengenai apa yang benar atau salah,
apa yang baik atau yang buruk, mereka juga memiliki pengetahuan tentang
lingkungan dan cara-cara mengerjakan sesuatu. Kebudayaan tidak hanya dimiliki
bersama tetapi kebudayaan itu dipelajari. Manusia tidak lahir dengan kebudayaan
seperti halnya dengan lebah, dimana lebah dilahirkan dengan tingkah laku sosial
yang bersifat naluri (instink). Sebagai gantinya manusia belajar kebudayaan
dari masyarakatdengan cara menyelidiki dan diajar oleh anggota masyarakat yang
lain.
Manusia
tidak dapat hidup sendiri, selalu berusaha mencari teman karena manusia hidup
bermasyarakat. Ada kemungkinan, bahwa manusia yang mempunyai kebudayaan
berpindah tempat atau dengan sengaja mencari tempat agar terdapat hubungan
(relasi). Oleh karena itu ada kemungkinan kebudayaan menyebar dari satu daerah
ke daerah lain.
BAB
3. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Toynbee termasuk seorang filsuf sejarah spekulatif.
Seperti filsuf-filsuf sejarah umumnya, ia pun ingin mencari dan menemukan
struktur intern yang melatar belakangi arus peristiwa sejarah. Usaha itu
dilakukan dengan bimbingan tiga pertanyaan utama : (1) Apa pola sejarah?; (2)
Apa mekanisme sejarah?;.dan (3) Apa tujuan sejarah?
Toynbee menyelidiki sejarah dengan cara mengamati
sejarah dari lingkup-lingkup kebudayaan (masyarakat) tertentu karena menurut
dia, kebudayaan merupakan unit studi sejarah. Sebagai unit studi sejarah,
kebudayaan harus dipandang sebagai suatu keseluruhan. Itu berarti ia bertolak
dari asumsi tentang sejarah sebagai konstruk atau sistem.
Seluruh hasil surveinya, yang
dituangkan dalam buku A Study of History (12 jilid), menunjukkan bahwa ada 21
kebudayaan besar di dunia. Dengan mengikuti siklus kehidupan organisme, proses
perkembangan kebudayaan itu berlangsung dalam 4 tahap: (1) kelahiran; (2)
pertumbuhan; (3) keruntuhan; dan (4) kehancuran. Proses perkembangan
masing-masing kebudayaan dalam keempat tahap itu memperlihatkan dengan jelas
pandangan Toynbee mengenai pola, mekanisme, dan tujuan sejarah.
Pola sejarah yang dianut Toynbee, seperti terlihat
dalam keenam jilid pertama, adalah pola siklis karena proses sejarah itu
bergerak secara kontinu membentuk suatu lingkaran (lahir, bertumbuh, runtuh,
dan hancur). Tetapi mulai akhir jilid VI proses sejarah menampakkan pola
linier.
Mekanisme sejarah tercermin dalam
tiap-tiap tahap perkembangan kebudayaan. Proses kelahiran kebudayaan
berlangsung dalam mekanisme "tantangan-dan--jawaban"
(challenge-and--response); proses pertumbuhan dalam "penarikan
diri-dan-kepulangan" (withdrawal-and-return) para pemimpin: proses
keruntuhan dalam "pemusnahan secara total dan pemaksaan apa-apa yang
baru" (rout-and-rally); dan proses kehancuran dalam "perpecahan dan
pembentukan kelompok-kelompok serta institusi-institusi baru"
(schismand-palingenesia).
3.2
Saran
Tujuan sejarah sudah tampak sejak akhir jilid VI di
mana proses sejarah bergerak mengikuti garis lurus menuju Kerajaan Allah
sebagai puncaknya. Maka disitulah manusia, yang telah mencapai status sebagai
Manusia Super, menjalin hubungan langsung secara individual dengan Allah
sendiri.
Sebagian konsep Toynbee masih
dirasakan relevansinya dengan kehidupan masyarakat modern sekarang, seperti
konsep "tantangan-dan-jawaban". Untuk itu, kemajuan di segala bidang
kehidupan manusia dewasa ini mencerminkan bagaimana dialektika antara tantangan
dan jawaban berlangsung.
Demikian pula halnya dengan masyarakat Indonesia.
Kemajuan dalam pembangunan selama ini membuktikan keberhasilan masyarakat
Indonesia dalam menjawab tantangan. Tetapi di samping itu konsep-konsep Toynbee
yang lain, seperti "minoritas kreatif",- "minoritas
dominan", "proletariat", dan "alienasi", terkesan
menarik bila diangkat ke permukaan karena menampakkan relevansinya dengan
kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Kartodirsjo, Sartono.
1986. Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur, Penjelasan
Berdasarkan Kesadaran Sejarah. Jakarta : PT Gramedia.
Ankersemit. F.R. 1987.
Refleksi tentang Sejarah, Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah.
Jakarta : PT Gramedia.
Tamburaka,
Rustam E. 1997. Pengantar Ilmu Sejarah,
Teori Filsafat Sejarah,Sejarah Filsafat Dan Iptek.
Jakarta : PT Rineka Cipta.
Internet :
Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI – (tesis) Membership
, Perkembangan Kebudayaan dalam
Perspektif Filsafat Sejarah : Sebuah Kajian tentang Pemikiran Arnold J.
Toynbee. Yohanes Pande hayon.
http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=78357&lokasi=lokal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar